Dampak Buruk Tidak Mengeluarkan Khumus

Kamis, 09 Mei 2013

Makna harfiah dari khumus adalah seperlima, sedangkan makna istilahnya adalah salah satu kewajiban penting dalam agama Islam yang berkaitan dengan harta benda yang harus dikeluarkan seperlimanya oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan.
Kewajiban Khumus

Kewajiban khumus merupakan salah satu prinsip Islam dan mengingkarinya akan menjadi penyebab kafir dan murtad bila meniscayakan pengingkaran risalah, pendustaan Nabi saw atau melecehkan syariat. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 336)

Catatan:

Hanya karena ketidakmampuan atau kesulitan untuk membayar khumus tidak akan bisa menyebabkan keluarnya beban dan gugurnya kewajiban untuk membayarnya. Karena itu mereka yang (pernah) mempunyai kewajiban untuk membayar khumus dan hingga sekarang belum membayarkannya, kemudian saat ini mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu atau sangat sulit bagi mereka untuk membayarnya, mereka tetap berkewajiban untuk membayarkan utang khumusnya kapan saja dia mempunyai kemampuan untuk itu dan orang ini bisa melakukannya dengan mendamaikan jumlah utangnya pada wali amr-khumus atau wakilnya untuk membayarnya secara bertahap berdasarkan perhitungan kemampuannya dari sisi jumlah dan waktu. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 925 dan 1035)

Menunda pembayaran khumus dari tahun-khumus ke tahun lainnya adalah tidak diperbolehkan, meskipun kapan saja dia membayarkannya bisa dikatakan sebagai membayar utangnya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 976)

Bila pada harta benda milik seseorang yang belum balig terdapat harta yang dikenai wajib khumus (seperti barang tambang atau harta halal yang bercampur dengan harta haram) maka wali syar’i-nyalah yang berkewajiban membayarnya, kecuali khumus hasil dari laba perdagangan dengan harta bendanya atau hasil dari pendapatan penghasilannya, yang dalam keadaan ini pembayarannya tidak wajib atas walinya, melainkan berdasarkan ihtiyath (wajib) bila terdapat sisa dari laba yang dihasilkan maka pembayaran khumus wajib dilakukan oleh anak itu sendiri setelah mencapai usia taklif. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 971 dan 1037)
    
Khumus hanya diwajibkan atas pribadi-pribadi dan tidak wajib atas negara, pemerintah, yayasan, bank dan sejenisnya. Karena itu bila sebuah yayasan mendapatkan keuntungan, maka setelah mengurangi pengeluaran tahunan tidak ada kewajiban untuk membayar khumus dari keuntungan. Lain halnya jika harta benda pemerintah, negara dan sebagainya tersebut adalah milik perorangan, maka pada keuntungannya akan terkena wajib khumus. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 893, 944 dan 1033)

Tujuh Hal Wajib Khumus
  1. Pendapatan (keuntungan kerja)
  2. Barang tambang
  3. Harta karun
  4. Harta halal yang bercampur dengan haram
  5. Perhiasan yang didapatkan melalui penyelaman di laut
  6.  Harta rampasan perang (ghanimah)
  7. Tanah yang dibeli oleh kafir dzimmi dari orang Muslim
Dampak Buruk Tidak Mengeluarkan Khumus
    
Penggunaan harta yang terkena wajib khumus dan belum dibayarkan khumusnya, memiliki hukum gasab (yaitu haram dan akan menjadi tanggungan) kecuali dengan izin dari wali amr-khumusatau wakilnya, karena itu:
        
Selama seorang mukalaf belum membayarkan khumus hartanya, maka tidak ada kebolehan baginya untuk menggunakan hartanya dan jika dia tetap menggunakannya sebelum membayarkan khumusnya, maka dia bertanggung jawab atas sejumlah khumus tersebut. Sementara itu, bila dia menggunakan (harta yang belum dibayar khumusnya) untuk membeli barang atau tanah dan sepertinya, maka transaksi (jual beli) seukuran khumus bersifat fudhuliyah dan bergantung pada izin wali amr-khumus atau wakilnya, yang setelah mendapatkan izin, khumus barang atau tanah tersebut harus dihitung dengan harga saat akan dibayarkan. (Ajwibah al-Istifta'at, No. 937, 976 dan 984)
        
Bila seseorang melakukan transaksi atau berkunjung ke rumah orang-orang yang tidak melaksanakan kewajiban berkhumus dan memakan makanan mereka serta mempergunakan harta bendanya, bila terdapat keyakinan terhadap keberadaan khumus pada harta benda yang dia ambil melalui jual beli dengan mereka atau yang dia pergunakan ketika berada bersama mereka, maka transaksi dalam seukuran khumus yang terdapat pada harta yang dia ambil melalui jual beli bersifat fudhuliyah dan membutuhkan izin dari wali amr-khumus atau wakilnya. Demikian juga tidak ada kebolehan baginya untuk menggunakan harta tersebut, kecuali jika meninggalkan pergaulan dengan mereka dan menghindari memakan makanan mereka atau menghindari penggunaan harta mereka akan menimbulkan kesulitan baginya, maka dalam keadaan ini diperbolehkan baginya untuk memanfaatkan hartanya, tetapi dia bertanggung jawab untuk membayar khumus yang terdapat dalam harta yang dia manfaatkan. (Ajwibah al-Istifta'at, No. 931)
        
Bila diketahui bahwa pada harta yang hendak disumbangkan ke masjid oleh seseorang terdapat wajib khumus yang belum dibayarkan, maka tidak ada kebolehan untuk menerimanya dan seandainya telah terlanjur diterima maka pada harta yang berkaitan dengan bagian yang terkena wajib khumus harus merujuk pada wali amr-khumus atau wakilnya. (Ajwibah al-Istifta'at, No. 932)
        
Jika seseorang melakukan kerja sama dengan orang-orang yang modalnya terkena wajib khumus tetapi belum dibayarkan, maka hartanya sejumlah khumus akan bersifat fudhuliyah, yang mengenai hal ini harus dengan merujuk kepada wali amr-khumus atau wakilnya. (Ajwibah al-Istifta'at, No. 940)
        
Bila mayit mewasiatkan supaya sebagian dari hartanya digunakan untuk membayar khumus atau pewarisnya meyakini bahwa mayit memiliki utang khumus, selama wasiat mayit atau khumus yang berada dalam tanggungannya belum dibayarkan dari apa yang dia tinggalkan, maka tidak ada kebolehan untuk memanfaatkan apa yang dia tinggalkan. Pemanfaatan mereka terhadap harta tersebut sebelum melaksanakan wasiatnya atau sebelum membayarkan utangnya akan menyebabkan dalam sejumlah yang diwasiatkan atau dalam sejumlah utangnya berada dalam hukum gasab dan mereka juga bertanggung jawab terhadap pemanfaatan-pemanfaatan yang dilakukan sebelumnya. (Ajwibah al-Istifta'at, No. 864)
        
Melakukan ibadah dengan harta yang belum dibayarkan khumusnya adalah batal. Karena itu, bila selama beberapa waktu lamanya, seseorang melakukan salatnya di atas sajadah atau dengan mengenakan baju yang dikenai wajib khumus, maka salat-salat yang dilakukannya hingga saat ini adalah batal kecuali jika dia jahil atau tidak mengetahui adanya wajib khumus dalam harta tersebut atau dia memiliki hukum penggunaan dalam harta tersebut. (Ajwibah al-Istifta'at, No. 383

Artikel Terkait Lainnya :



0 komentar:

Posting Komentar

Diharapkan berkomentar dengan santun, jika komentar bernada hujatan, propokasi, maka kami berhak menghapus komentar anda.